Kutipan dari Najwa Shihab - Halaman 18

Semakin ramai iklan politik meraja, semakin sedikit kita tahu siapa mereka.

Setiap kekerasan bersentimen agama, selalu ada hukum yang lemah.

Sungguh merugi hidup bangsa, jika energi habis tumpah mengurus gaduh politik yang durhaka.

Tak penting program kerja, asal rakyat kenal muka.

Tidak gampang marah karena publik rajin menuntut, bekerja dengan dedikasi yang absolut.

Atas dasar apa kita menerima, ketika peradilan sesat melayani si kaya yang berkuasa.

Berhentilah terobsesi pada Jakarta, niscaya itu menjadi solusi utama.

Demokrasi tanpa para demokrat, membuat kuasa miskin legitimasi rakyat.

Elit berlaku bak raja, warga berposisi bagai hamba kawula.

Fenomena klenik menguat, seturut egoisme politik yang mencuat.

Kekuasaan menjadi permainan, saat takhayul dilembagakan.

Kelas bukan untuk menyucikan diktat penuh angka, pengetahuan bukan ayat-ayat penuh dogma.

Kisah politik & kuasa, tak pernah lepas dari dukun dan dupa.

Kita wajib memilih yang benar, bukan asal mendukung yang tenar.

Mari kita mengubah makna politik, agar lebih berorientasi kepada urusan publik.

Menyedihkan jika tersangka menjadi kandidat, kepemimpinan akan rentan khianat pada amanat.

Partai memang ramai dan gaduh beraksi, tapi sebenarnya miskin partisipasi.

Politik Indonesia semakin mirip pentas pertunjukkan aktor-aktor politik mahir memainkan peran.

Sebutlah mereka melek hak kewargaaan, atau kezaliman sudah teramat keterlaluan.

Sewaktu kekuasaan itu datang, biasanya mereka mulai mabuk kepayang.