Kutipan dari Najwa Shihab - Halaman 2

Karena memilih lewat Pemilu, bukan seperti melempar dadu. Kita semua yang akan menentukan, nasib Indonesia di masa depan.

Yang harus dibabat adalah egoisme dan kebencian, yang mesti dirajut ialah solidaritas dan kepedulian.

Banyak anak muda yang tumbang karena korupsi, mereka lupakan visi dan hanyut pada nikmat duniawi.

Pejabat publik tutup mata, uang haram tak lagi berdosa. Sekeras itu hukum dibuat, sepandai itu pula praktek muslihat.

Jakarta kota yang tunduk selera pribadi, menawarkan mimpi dan ilusi.

Menunggu wakil rakyat yang sadar posisi untuk berbakti, tak gampang mabuk jabatan dan materi.

Berbicara politik sebagai debat kebijakan, bukan kasak-kusuk elit berebut kekuasaan.

Jika sejarah menjadi guru kebijaksanaan, tokoh sejarahlah yang mengkongkritkan keteladanan.

Disiplin ilmu hanyalah modal pertama, ijazah cuma selembar kertas di atas meja.

Usia muda adalah modal agar tangan terus terkepal, untuk arungi medan politik yang terjal.

Berani muncul melawan arus, mendobrak kepalsuan yang terlanjur serius.

Inilah pengabdian di jalan yang sepi, perjuangan yang sering kali tak bertepi.

Dengan jurus transparansi, mereka hadang gerak-gerik para pencuri. Jika atasan berani buka-bukaan, anak buah akan sulit selewengkan jabatan.

Banyak kasus terpendam, berakhir pada si kambing hitam. Sedang para pelaku utama, tetap nyaman di singgasana.

Kebenaran & kepastian mengapung, di antara uang & kuasa yang mengepung.

Demokrasi bukan hanya penguasa dan birokrasi yang kuat tapi rakyat yang bebas berserikat.

Semakin menor Jakarta terlihat, logika publiknya sungguh jauh tersesat.

Pilkada memang perkara kalah menang namun calon-calon bermasalah janganlah diberi kesempatan.

Apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut dipupuk?

Saat ketidakadilan merajalela, keberanian menjadi berkah bagi semesta.