Kutipan dari Najwa Shihab - Halaman 13

Tak ada pengacara yang membela, mungkin karena mereka bukan siapa-siapa.

Gubernur boleh berkuasa, tapi pemangku Jakarta sejatinya adalah warga ibukota.

Hukum yang mengabdi materi, menumbalkan orang kecil bertubi-tubi.

Jujur bersaksi di pengadilan, jadi jalan penebusan, agar keadilan bisa ditegakkan.

Negara akan kuat senantiasa, saat rakyatnya terdidik untuk berdaya. Jika sejarah menuju lebih sempurna, Indonesia yang jaya sudah di depan mata.

Persoalan terletak pada banyak segi, kerap kali diperumit benang kusut birokrasi.

Tantangan polisi bukan hanya dari lawan, tapi pula penegak hukum di sisian.

Apalah arti pasangan yang populis, jika di tengah jalan saling mengiris.

Dahulu merdeka dari penjajah, kini dari kebiasaan buruk yang tak mau berubah.

Dia yang akan memimpin negeri, harus punya partner yang bisa melengkapi.

Hukuman mati butuh sistem hukum yang bersih, dan mutu peradilan melampaui setitik pun keraguan.

Istana menjadi saksi, rezim yang datang silih berganti.

Jakarta awalnya kota dagang, tak didesain jadi kota seperti sekarang. Posisinya berada di delta, rentan banjir karena tanahnya rendah.

Kenyataannya sebagian mereka berhasil, mengoreksi wajah negara yang tidak adil.

Negeri ini sudah terlalu gaduh dengan urusan korupsi di semua lini.

Suara rakyat coba dijaring, dengan berbagai iming-iming. Visi misi kadang dibahas, tapi banyak yang pilih jalan pintas.

Sungguh tercela para politisi, yang mengabdi untuk menolong diri sendiri.

Terdepan mengawasi praktik korupsi, mengajak anak muda turut peduli nasib negeri ini.

Betapa gawatnya ketika hukum telah kehilangan nyali.

Buat apa memberantas korupsi, jika bui sejati hanya untuk kelas teri.